Merebaknya
isu-isu moral di kalangan remaja seperti penggunaan narkotika dan obat-obat
terlarang (narkoba), tawuran pelajar, pornografi, perkosaan, merusak milik
orang lain, perampasan, penipuan , pengguguran kandungan, penganiyaan, perjudian,
pelacuran, pembunuhan dan lain-lain, sudah menjadi masalah sosial yang sampai
saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup
serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana, karena
tindakan tersebut sudah menjurus kepada tindakan kriminal. Kondisi ini sangat
memprihatinkan masyarakat khususnya para orang tua dan para guru (sebagai
pendidik), sebab pelaku-pelaku beserta korbannya adalah kaum remaja, terutama
para pelajar dan mahasiswa.
Banyak orang berpandangan bahwa
kondisi demikian juga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidik.
Pendidikanlah yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap
situasi ini mereka yang telah melewati sistem pendidikan selama ini, mulai dari
pendidikan dalam keluarga, lingkungan sekitar, dan pendidikan sekolah, kurang
memiliki kemampuan mengolah konflik dan kekacauan, sehingga anak-anak remaja
selalu menjadi korban konflik dan kekacauan tersebut.
Dibidang pendidikan sekolah,
terjadinya penyimpangan-penyimpangan moral remaja tersebut tidak hanya menjadi
tanggung jawab pendidikan agama, tetapi juga merupakan tanggung jawab seluruh
pengajar/pendidik di sekolah. Guru matematika, guru bahasa, guru olah raga, dan
guru-guru lainnya, mestinya turut bertanggung jawab dalam membentuk moralitas
anak didik. Jika pendidikan moral hanya dibebankan kepada guru agama, maka
moralitas yang akan tumbuh hanya sebatas hafalan terhadap doktrin-doktrin
agama. Pengetahuan tentang doktrin-doktrin agama tidak menjamin tumbuhnya
moralitas yang dapat diandalkan. Lalu dapatkah mata pelajaran-mata pelajaran
selain pelajaran agama digunakan sebagai media untuk pendidikan moral?
Bagaimana caranya?
Paul Suparno, dkk. (2002)
mengemukakan ada empat model penyampaian pembelajaran moral :
1.
Model sebagai maa pelajaran tersendiri
2.
Model terintegrasi dalam semua bidang
studi
3.
Model di luar pengajaran
4.
Model gabungan
Masing-masing
model memiliki kelebihan dan kekurangan. Jika pembelajaran moral sebagai mata
pelajaran tersendiri, maka diperlukan garis besar program pengajaan (GBPP),
satuan pelajaran/rencana pelajaran, metodologi, dan evaluasi pembelajaran
tersendiri dan harus masuk dalam kurikulum dan jadwal terstruktur. Kelebihan
model ini adalah lebih tefokus dan memiliki rencana yang matang untuk
menstruktur pembelajaran dan mengukur hasil belajar siswa. Model ini akan
memberikan kesempatan yang lebih luas kepada guru untuk mengembangkan
kreativitasnya. Sedangkan kelemahannya, guu bidang studi lain tidak turut
terlibat dan bertanggung jawab. Dengan model ini ada kecenderungan pembelajaran
moral hanya diberikan sebatas
sepengetahuan kognitif semata.
Bila
pembelajarn moral menggunakan model terintegrasi dalam semua bidang studi, maka
semua guru adalah pengajaar moral tanpa terkecuali. Kelebihan model ini adalahm
semua guru ikut bertanggung jawab, dan pembelajaran tidak selalu bersifat
informatif-kognitif melainkan bersifat terapan pada tiap bidang studi.
Sedangkan kelemahannya, jika terjadi perbedaan persepsi tentang
nilai-nilaimoral diantara guru, maka justru akan membingungkan siswa.
Pembelajaan moral dengan model di luar pengajaran, dapat dilakukan melalui
kegiatan-kegiatan di luar pengajaran. Model ini lebih mengutamakan pengolahan
dan penanaman moral melalui suatu kegiatan untuk mengupas dan membahas
nilai-nilai hidup. Anak mendalami nilai-nilai moral melalui
pengamatan-pengamatan konkret, sehingga nilai-nilai moral tertanam dan
terhayati dalam hidupnya. Namun, jika pelaksanaan kegiatan semacam ini hanya
dilakukan setahun sekali atau dua kali maka kurang memperoleh hasil yang
optimal. Pembelajaran moral demikian harus secara rutin diselenggarakan.
Pembelajaran
moral yang dilakukan dengan menggunakan model gabungan antara model
terintregasi dengan model di luar pengajaran memerlukan kerja sama yang baik
antara guru sebagai im pengajar dengan pihak-pihak luar yang terkait. Kelebihan model ini, semua guru
terlibat dan secara bersama-sama dapat dan harus belajar dengan pihak luar unuk
mengembangkan diri siswanya. Kelemahannya, model ini menuntut keterliabatan
banyak pihak, memerlukan banyak waktu untuk koordinasi, banyak biaya, dan
diperlukan komitmen bersamna antara guru-guru dan pengelola sekolah juga orang
tua, agar pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan kondisi sekolah. Melihat
kondisi banyaknya penyimpangan moral dikalangan anak-anak dan remaja saat ini,.
Menjadikan tugas yang diemban oleh para guru/pendidik dan perancang dibidang
pendidikan moral sangat rumit. Apa pun model pembelajaran yang digunakan, para
guru dihadapkan pada sejumlah variabel kondisi yang berada di luar kontrolnya,
yang harus diterima apa adanya. Satu variabel yang sama sekali tidak dapat
dimanipulasi oleh guru atau perancang pembelajaran adalah karakteristik siswa
dan budayanya. Variabel ini mutlak harus dijadikan pijakan dalam memilih dan
mengembangkan strategi pembelajaran yang opimal. Upaya apa pun yang dipilih dan
dilakukan oleh guru atau perancang pembelajaran haruslah bertumpu pada
karakteristik perseorangan siswa sebagai subjk belajar serta budaya di mana
siswa berada Adopsi sistem pendidikan dari luar yang kurang menyentuh budaya
lokal sering kali mengalami kesulitan untuk berkembang. Cara dan sistem
pendidikan yang ada sering menjadi sasaran kritik dan kecaman karena seluruh daya guna sistem
pendidikan tersebut diragukan. Generasi muda banyak memberontak terhadap
metode-metode dan sistem pendidkan yang ada. Bahaya yang dapat timbul dari
keadaan tersebut bukan hanya bentrokkan-bentrokkan, konflik, dan malapetaka,
melainkan justru bahaya yang lebih fundamental yaitu lenyapnya sifat-sifat
perikemanusian. Sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi hancur.
Pola pikir yang semula terstruktur menjadi kacau dan tidak menentu.
Ilmuwan pembelajaran dan para guru
juga menghadapi hal yang serupa dalam mengembangkan prinsip-prinsip
pembelajaran moral. Ia harus menempatkan variabel-variabel kondisional ini
khususnya variabel karakteristik siswa, sebagai titik awal dalam
mempreskripsikan strategi pembelajaran moral. Bila tidak, maka teori-teori dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang dikembangkannya sama sekali tidak akan ada gunanya bagi
pelaksanaan pembelajaran. (Degeng, 1991)
Reigeluth (1983) sebagai seorang
ilmuwan pembelajaran, bahkan secara tegas menempatkan karakteristik siswa
sebagai suatu variabel yang paling berpengaruh dalam pengembangan strategi
pengelolaan pembelajaran. Pakar-pakar perancang pembelajaran (Banathy, 1968;
Gerlach dan Ely, 1971; kemp, 1977; Dick dan Carey, 1985; Romiszowsky, 1981;
Degeng, 1990) menempatkan langkah analisis karakteristik siswa pada posisi yang
amat penting sebelum langkah-langkah pemilihan dan pengembangan streategi
pembelajaran. Semua ini menunjukkan bahwa model pembelajaran apa pun yang
dikembangkan dan/atau strategi apa pun yang dipilih untuk keperluan
pembelajaran haruslah berpijak pada karakterisik perseorangan dan/atau kelompok
dari siapa yang belajar. Maka untuk mengembangkan strategi pembelajaran moral
yang optimal terlbih dahulu harus mengembangkan karakteristik siswa dan budaya
masyarakat di mana mereka tinggak. Hal ini memungkinkan faktor terbesar dari
manusia yang paling banyak mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang yang
berkenaan dengan moral dan tingkah laku yang baik.
0 Comments