Artikel

6/recent/ticker-posts

Pendidikan Moral dalam Sekolah

Merebaknya isu-isu moral di kalangan remaja seperti penggunaan narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba), tawuran pelajar, pornografi, perkosaan, merusak milik orang lain, perampasan, penipuan , pengguguran kandungan, penganiyaan, perjudian, pelacuran, pembunuhan dan lain-lain, sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana, karena tindakan tersebut sudah menjurus kepada tindakan kriminal. Kondisi ini sangat memprihatinkan masyarakat khususnya para orang tua dan para guru (sebagai pendidik), sebab pelaku-pelaku beserta korbannya adalah kaum remaja, terutama para pelajar dan mahasiswa.
            Banyak orang berpandangan bahwa kondisi demikian juga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidik. Pendidikanlah yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap situasi ini mereka yang telah melewati sistem pendidikan selama ini, mulai dari pendidikan dalam keluarga, lingkungan sekitar, dan pendidikan sekolah, kurang memiliki kemampuan mengolah konflik dan kekacauan, sehingga anak-anak remaja selalu menjadi korban konflik dan kekacauan tersebut.
            Dibidang pendidikan sekolah, terjadinya penyimpangan-penyimpangan moral remaja tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab pendidikan agama, tetapi juga merupakan tanggung jawab seluruh pengajar/pendidik di sekolah. Guru matematika, guru bahasa, guru olah raga, dan guru-guru lainnya, mestinya turut bertanggung jawab dalam membentuk moralitas anak didik. Jika pendidikan moral hanya dibebankan kepada guru agama, maka moralitas yang akan tumbuh hanya sebatas hafalan terhadap doktrin-doktrin agama. Pengetahuan tentang doktrin-doktrin agama tidak menjamin tumbuhnya moralitas yang dapat diandalkan. Lalu dapatkah mata pelajaran-mata pelajaran selain pelajaran agama digunakan sebagai media untuk pendidikan moral? Bagaimana caranya?
            Paul Suparno, dkk. (2002) mengemukakan ada empat model penyampaian pembelajaran moral :
1.      Model sebagai maa pelajaran tersendiri
2.      Model terintegrasi dalam semua bidang studi
3.      Model di luar pengajaran
4.      Model gabungan
Masing-masing model memiliki kelebihan dan kekurangan. Jika pembelajaran moral sebagai mata pelajaran tersendiri, maka diperlukan garis besar program pengajaan (GBPP), satuan pelajaran/rencana pelajaran, metodologi, dan evaluasi pembelajaran tersendiri dan harus masuk dalam kurikulum dan jadwal terstruktur. Kelebihan model ini adalah lebih tefokus dan memiliki rencana yang matang untuk menstruktur pembelajaran dan mengukur hasil belajar siswa. Model ini akan memberikan kesempatan yang lebih luas kepada guru untuk mengembangkan kreativitasnya. Sedangkan kelemahannya, guu bidang studi lain tidak turut terlibat dan bertanggung jawab. Dengan model ini ada kecenderungan pembelajaran moral hanya diberikan  sebatas sepengetahuan kognitif semata.
Bila pembelajarn moral menggunakan model terintegrasi dalam semua bidang studi, maka semua guru adalah pengajaar moral tanpa terkecuali. Kelebihan model ini adalahm semua guru ikut bertanggung jawab, dan pembelajaran tidak selalu bersifat informatif-kognitif melainkan bersifat terapan pada tiap bidang studi. Sedangkan kelemahannya, jika terjadi perbedaan persepsi tentang nilai-nilaimoral diantara guru, maka justru akan membingungkan siswa. Pembelajaan moral dengan model di luar pengajaran, dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan di luar pengajaran. Model ini lebih mengutamakan pengolahan dan penanaman moral melalui suatu kegiatan untuk mengupas dan membahas nilai-nilai hidup. Anak mendalami nilai-nilai moral melalui pengamatan-pengamatan konkret, sehingga nilai-nilai moral tertanam dan terhayati dalam hidupnya. Namun, jika pelaksanaan kegiatan semacam ini hanya dilakukan setahun sekali atau dua kali maka kurang memperoleh hasil yang optimal. Pembelajaran moral demikian harus secara rutin diselenggarakan.
Pembelajaran moral yang dilakukan dengan menggunakan model gabungan antara model terintregasi dengan model di luar pengajaran memerlukan kerja sama yang baik antara guru sebagai im pengajar dengan pihak-pihak luar yang  terkait. Kelebihan model ini, semua guru terlibat dan secara bersama-sama dapat dan harus belajar dengan pihak luar unuk mengembangkan diri siswanya. Kelemahannya, model ini menuntut keterliabatan banyak pihak, memerlukan banyak waktu untuk koordinasi, banyak biaya, dan diperlukan komitmen bersamna antara guru-guru dan pengelola sekolah juga orang tua, agar pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan kondisi sekolah. Melihat kondisi banyaknya penyimpangan moral dikalangan anak-anak dan remaja saat ini,. Menjadikan tugas yang diemban oleh para guru/pendidik dan perancang dibidang pendidikan moral sangat rumit. Apa pun model pembelajaran yang digunakan, para guru dihadapkan pada sejumlah variabel kondisi yang berada di luar kontrolnya, yang harus diterima apa adanya. Satu variabel yang sama sekali tidak dapat dimanipulasi oleh guru atau perancang pembelajaran adalah karakteristik siswa dan budayanya. Variabel ini mutlak harus dijadikan pijakan dalam memilih dan mengembangkan strategi pembelajaran yang opimal. Upaya apa pun yang dipilih dan dilakukan oleh guru atau perancang pembelajaran haruslah bertumpu pada karakteristik perseorangan siswa sebagai subjk belajar serta budaya di mana siswa berada Adopsi sistem pendidikan dari luar yang kurang menyentuh budaya lokal sering kali mengalami kesulitan untuk berkembang. Cara dan sistem pendidikan yang ada sering menjadi sasaran kritik  dan kecaman karena seluruh daya guna sistem pendidikan tersebut diragukan. Generasi muda banyak memberontak terhadap metode-metode dan sistem pendidkan yang ada. Bahaya yang dapat timbul dari keadaan tersebut bukan hanya bentrokkan-bentrokkan, konflik, dan malapetaka, melainkan justru bahaya yang lebih fundamental yaitu lenyapnya sifat-sifat perikemanusian. Sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi hancur. Pola pikir yang semula terstruktur menjadi kacau dan tidak menentu.
Ilmuwan pembelajaran dan para guru juga menghadapi hal yang serupa dalam mengembangkan prinsip-prinsip pembelajaran moral. Ia harus menempatkan variabel-variabel kondisional ini khususnya variabel karakteristik siswa, sebagai titik awal dalam mempreskripsikan strategi pembelajaran moral. Bila  tidak, maka teori-teori dan prinsip-prinsip pembelajaran yang dikembangkannya sama sekali tidak akan ada gunanya bagi pelaksanaan pembelajaran. (Degeng, 1991)

Reigeluth (1983) sebagai seorang ilmuwan pembelajaran, bahkan secara tegas menempatkan karakteristik siswa sebagai suatu variabel yang paling berpengaruh dalam pengembangan strategi pengelolaan pembelajaran. Pakar-pakar perancang pembelajaran (Banathy, 1968; Gerlach dan Ely, 1971; kemp, 1977; Dick dan Carey, 1985; Romiszowsky, 1981; Degeng, 1990) menempatkan langkah analisis karakteristik siswa pada posisi yang amat penting sebelum langkah-langkah pemilihan dan pengembangan streategi pembelajaran. Semua ini menunjukkan bahwa model pembelajaran apa pun yang dikembangkan dan/atau strategi apa pun yang dipilih untuk keperluan pembelajaran haruslah berpijak pada karakterisik perseorangan dan/atau kelompok dari siapa yang belajar. Maka untuk mengembangkan strategi pembelajaran moral yang optimal terlbih dahulu harus mengembangkan karakteristik siswa dan budaya masyarakat di mana mereka tinggak. Hal ini memungkinkan faktor terbesar dari manusia yang paling banyak mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang yang berkenaan dengan moral dan tingkah laku yang baik.

Post a Comment

0 Comments